Opini: Empati Untuk Korban Pelecehan Seksual Pada Kaum Pria

かぜのかみ
3 min readJul 15, 2020

Apakah bijak meragukan keabsahan sebuah kesaksian pelecehan seksual dari kaum pria?

Picture from one of my photo-shoot

(texts are written in Indonesian Language)

Sedikit cerita, selain menjalani profesi sehari-hari sebagai pemalas unggul, saya adalah pengguna Twitter yang cukup aktif — walaupun hanya berkecimpung sebagai pengamat dari begitu banyak pro dan kontra di media sosial tersebut. Terkadang, sebagai pengamat yang begitu baik, tidak jarang saya ingin sekali ikut berargumen dalam satu atau dua kontra yang menurut saya merupakan topik yang cukup rawan dalam ranjau kesalahpahaman.

Beberapa dari jutaan masalah yang bisa menjadi perdebatan cukup sengit di media sosial adalah; pelecehan seksual dan kesetaraan gender. Saya bukanlah orang yang cukup kritis dalam menghubungkan benang di antara kedua hal tersebut, namun bukan berarti saya tidak memperhatikan dan menulis satu demi satu ketidak-setujuan yang tumbuh dalam benak. Observasi itu menghasilkan satu konklusi yang sulit untuk saya tulis, namun kebenarannya memang bisa dilihat dan kadang mereka merupakan salah satu dari bagian pertemanan saya sendiri.

Konklusi itu adalah sebuah fakta bahwa beberapa kaum wanita yang menekankan dirinya adalah feminis kerap kali menjadi garam di atas luka bagi beberapa kaum pria yang sudah cukup berani menceritakan sedikit potongan luka kehidupannya yang menjadi korban pelecehan seksual. Sebagai pengingat:

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial.

Namun, arti idealisme itu sendiri kerap kali meleset jauh, dan menjadikan beberapa “feminis” (dengan tanda kutip) yang seharusnya menjadi penyokong moral — malah meragukan keabsahan sebuah kesaksian kaum pria yang sudah mengakui dan seringkali menunjukkan bukti bahwa mereka merupakan korban pelecehan dari kaum wanita.

Sebagai wanita yang juga merupakan korban pelecehan seksual, saya sangat prihatin dengan begitu banyak kasus pelecehan seksual pada kaum pria yang masih belum banyak diketahui dikarenakan adanya stigma sosial yang sangat tidak masuk akal. Alasan mengapa saya menulis artikel opini ini adalah karena saya menemukan seorang wanita menulis tweet, di mana dia berkata: pria yang bercerita bahwa dia mengalami pelecehan seksual hanya melakukan aksi strategis yang klasik untuk menepis kesaksian wanita yang mengalami hal yang sama, sehingga kesaksian dia lebih relevan daripada kesaksian kaum wanita.

Saya mencoba memahami lagi apa maksud dari opini wanita tersebut dengan membaca ulang tweet dan garis hubungnya. Dan alasan dia menulis tweet tersebut hanya karena dia merasa pria bercerita tentang pelecehan seksual di waktu yang sama di mana isu pelecehan seksual wanita sedang dibahas secara masif lewat berbagai media. Ternyata, wanita tersebut terkenal sebagai salah satu tokoh “feminis” yang memang kerap menuai begitu banyak kontra karena opininya yang cukup kontroversial.

Entah kenapa stigma sosial di mana pria harus menjadi orang yang tahan banting, apapun yang terjadi dalam kehidupannya, harus menjadi hal yang normal. Sedangkan jika mereka menunjukkan sisi rapuh pada diri mereka, mereka akan ditandai sebagai lelaki lemah dan penakut. Apakah itu adil?

Bukankah semua yang dikaruniai akal dan perasaan berhak memiliki dan menunjukkan sisi kelemahan mereka masing-masing?

Pelecehan seksual bukanlah hal yang mudah dilupakan begitu saja. Hal itu, setiap detilnya, seperti tanda lahir pada kulit manusia. Kejadian pahit yang saya alami tersebut masih membekas di kepala saya walaupun sudah berlalu satu dekade lalu. Saya yakin kaum pria juga memiliki reaksi yang sama, walaupun mereka memiliki ruang gelap tersendiri untuk mengisolasi kisah-kisah traumatis yang mereka alami.

Opini memang beragam dan abstrak — tidak harus dibalas dengan acungan jempol dan tepukan tangan. Manusia mengandalkan satu sama lain untuk bertahan hidup, dan kita sebagai manusia seharusnya bisa mencoba dan berusaha menjadi tempat bagi semua individu yang membutuhkan dukungan moral untuk berlindung. Semua pengakuan pelecehan seksual dari kaum pria maupun wanita adalah hal yang valid dan nyata, apalagi jika disertai dengan bukti konkrit. Kesaksian sebuah kisah tidak harus melulu diserang oleh buah pikir yang berakar dari asumsi konyol yang tidak berbentuk.

--

--